REDUP SUDAH
Esok (25 Nov 2018) tepat 73 tahun guru akan meniup lilinnya kembali.
lilin yang HARUSnya selalu memberi kesan penerang bagi tiap mereka yang berada dipusarannya. Lilin yang seyogianya RELA MELEBUR & HABIS demi tetap bercahaya. Dulu pernah merasa beruntung sebab lilin itu bisa bercahaya dan menyala. Berkesempatan melebur demi mereka yang berdahaga akan pengetahuan. Bukan hanya anak sekolah, semua kalangan dari anak-anak sampai dewasa dan orangtua. Betapa bahagianya saat itu, desa kecil yang gelap gulita nun jauh disana selalu memacu untuk belajar dan selalu belajar. Sebab selalu BERJUBEL pertanyaan yang harus dirundingkan. Bahkan Di gedung berlantai tanah itu, keriuhan dan rebutan jari mungil selalu teracung ke langit menandakan diubun-ubun mereka sudah menggunung pertanyaan yang HARUS dieksekusi, begitu selalu hingga waktu merasa iri dengan keseruan canda gurau disela diskusi dan pagi sampai siangpun berlalu sangat cepat. Bukan hanya untuk bocah-bocah mungil hitam badaki itu saja, mufakat di se-profesi bahkan di lingkungan masyarakat oleh perangkat desa juga selalu di beri kesempatan untuk memberi pandangan dan pertimbangan sebelum ada mufakat. Namun itu hanyalah masa lalu yang selalu dirindu bahkan selalu terpatri di ingatan. Itu hanya kenangan ditimur. Ini sekarang dibarat, yahh barat.. Sama seperti jauhnya timur hingga barat, Begitu jua dengan treatment yang didapat, bak suplemen pada sudut. Jika dulu lilin itu dibiarkan terus bercahaya dan melebur, kini lilin itu tidak diberi kesempatan bercahaya dan melebur. Persis dengan bagaimana lilin pada perayaan ulangtahun , seperti biasanya lilinnya tidak akan dibiarkan bercahaya lama apalagi sampai melebur. Begitu lilin hidup nyanyian selamat ulangtahun pun seakan tanpa ritme mengalir seperti air terjun, sangat deras agar cepat lilin di tiup sebelum melebur. Sebab jika lilin melebur dan mengenai kue maka kuenya akan terbuang. Namun ini bukan masalah nikmatnya kue yang tanpa leburan lilin. Namun sama halnya dengan lilin yang tidak di beri kesempatan bercahaya dan melebur, mereduplah sudah keberadaan itu. Selalu dipadamkan ketika ingin bercahaya, selalu diterpa angin kuat ketika berusaha untuk hidup.Dan jika memilih utk melebur, maka akan disisihkan bahkan akan terbuang sama seperti leburan lilin pada kue tersebut. Tanpa melihat perjuangan lilin hingga melebur, sang lilin yang mempertaruhkan batangnya terbakar agar tetap bersinar dan rela hancur demi terang... Dan bukan lilin lah namanya jika tidak bisa melebur, dan kurang berhargalah lilin jika tidak memberi terang dan bercahaya.. Begitu hambarnya jika lilin begitu hidup langsung di tiup dan dipadamkan, sama halnya ibarat sayur tanpa garam, Hambarlah sudah,....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar